Dra Siswi Astuti, M.Pd., dosen Teknik Kimia S-1, ITN Malang (kiri) bersama Ibu Kus (mitra) warga desa Desa Gunungrejo, sedang menggunakan mesin grinder jamu buatan dosen ITN Malang. (Foto: Istimewa)
itnmalangnews.id – Masa pandemi covid-19 jamu tradisional menjadi salah satu minuman yang ngetrend di masyarakat. Dengan mengkonsumsi jamu yang bervariasi, dan secara teratur sesuai dengan kebutuhan disinyalir dapat meningkatkan imun seseorang. Salah satu produk segar jamu tradisional di Kabupaten Malang bisa didapatkan di Desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari. Bermerek “Berkah Bumi” merupakan produk jamu yang diproduksi oleh Ibu Kus, warga Gang Beras Kencur, Dusun Mbiru, Desa Gunungrejo. Menjaga resep turun temurun dari keluarga, pembuatan jamu masih menggunakan alat tradisional berupa lumpang yang terbuat dari batu.
Baca juga: www.itn.ac.id
Melihat pembangunan Desa Gunungrejo sebagai desa wisata, dan potensi usaha jamu tradisional yang bisa mendukung arah pengembangan desa. Maka, tiga dosen Fakultas Teknologi Industri (FTI), Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, mencoba membantu Ibu Kus untuk mengembangkan produksi jamu “Berkah Bumi”. Ketiga dosen tersebut adalah, Djoko Hari Praswanto, ST., MT (dosen Teknik Mesin S-1), Dra Siswi Astuti, M.Pd (dosen Teknik Kimia S-1), dan Awan Uji Krismanto, ST., MT., Ph.D (dosen Teknik Elektro S-1). Mereka melakukan pengabdian masyarakat dengan teknologi tepat guna berupa mesin grinder jamu yang memiliki efisiensi kerja. Sehingga mampu meningkatkan produktivitas usaha jamu tradisional.
“Selama ini mitra (Bu Kus) saat membuat jamu ditumbuk memakai lumpang dari batu. Cara konvensional ini membutuhkan waktu lama, bisa sampai 5 jam sekali produksi. Nah, kami tergerak untuk membuatkan mesin grinder. Sehingga bisa efektif dalam waktu, serta lebih higienis dari pada ditumbuk,” ujar Djoko Hari Praswanto, ST., MT saat ditemui di Kampus 1 ITN Malang beberapa waktu lalu.
Ada 5 varian produk unggulan yang dihasilkan oleh usaha jamu Ibu Kus. Antara lain, temulawak, sinom, beras kencur, kunyit asam, lempuyang, dan beberapa jenis jamu dari rempah-rempah lainnya. Meskipun permintaan jamu meningkat, namun sayangnya mitra belum bisa memenuhi permintaan dikarenakan dalam pembuatan jamu masih tradisional, dengan waktu yang lama, dan menguras tenaga. Sehingga, Ibu Kus dalam menjual jamu hanya tiga hari dalam satu minggu. Dengan mesin grinder jamu buatan dosen ITN Malang, maka diharapkan jamu dapat diproduksi setiap hari.
“Selama ini mitra mulai kerja pukul dua dini hari, sampai pukul tujuh pagi. Baru pukul delapan ia berangkat berjualan keliling. Kalau dulu sebelum pandemi bisa dititipkan ke sekolah-sekolah. Saat inikan belum bisa dititipkan,” imbuh Djoko.
Awalnya Ibu Kus dalam membuat 10 liter jamu, dari lima macam jenis rempah membutuhkan waktu lima jam. Dengan masing-masing varian dua liter. Sekarang, setelah menggunakan mesin grinder jamu dari dosen ITN Malang, ia bisa memproduksi 10 liter jamu dalam dua jam. Dua jam itu ia gunakan mulai dari mencuci rempah-rempah, memproduksi, hingga mengemas dalam botol 600 ml.
“Kemarin awal penggunaannya, sudah dicoba menghasilkan 10 liter beras kencur dan 10 liter sinom (dalam waktu dua jam). Selain menghemat waktu, ibunya juga dapat meningkatkan keuntungan sampai 30 persen dari keuntungan sebelumnya. Kami buat skema tiga hari, biasanya dia dapat laba bersih 200 ribu rupiah. Setelah hampir tiap hari memproduksi dengan memakai grinder jamu, maka di rata-rata penghasilan 80 ribu rupiah per hari. Kami kalkulasikan ada kenaikan 30 persen pendapatan,” beber Djoko.
Untuk mesin grinder jamunya sendiri berukuran 45 x 15 cm. Memakai material rangka plastik/pipa berdiameter 3 dim. Ditambah mesin penggiling, yang cara kerjanya mirip slow juicer. Rempah-rempah dimasukkan dari atas, maka mesin akan bekerja memeras secara horizontal. Ampasnya dibuang ke kiri mesin grinder, sedangkan cairan keluar dari bawah.
Baca juga: Bina Desa Mahasiswa Teknik Industri S-1 Sosialisasi Prokes Covid-19 dan Ajari Warga Buat Produk
“Modelnya mengerucut seperti spiral. Nanti saat rempah-rempah dimasukkan ada ruang yang berbentuk kerucut. Jadi, otomatis kalau terkena tekanan dari atas, dan terus menerus rempah-rempah akan pecah,” katanya. Dibantu lima mahasiswa, pengabdian masyarakat dari hibah internal 2021 ini kedepannya akan berkelanjutan. Setelah program selesai, selanjutnya akan terus dipantau cara pemakaian, dan perawatan mesin.
Selain Ibu Kus menjual jamu berbentuk cair, ia juga kerap menjual jamu berbentuk bubuk instan. Kedepannya dosen ITN Malang juga akan membantu dalam pengembangan jamu bubuk instan, serta membimbing mitra dalam mengurus ijin PIRT.
“Nanti, kami juga akan membantu bagaimana cara mengurus ijin PIRT. Sedangkan untuk ekstrak jamu instan akan ada penelitian yang mengembangkan ke arah sana. Karena selama ini untuk jamu instan hanya by order, jadi belum berani menjual banyak. Nanti kalau sudah ada PIRT bisa dititipkan ke pasar modern atau swalayan. Harapannya dapat mengangkat perekonomian mitra,” pungkas Djoko, yang juga berharap produk jamu tradisional bisa menjadi oleh-oleh khas Desa Gunungrejo. (Mita Erminasari/Humas ITN Malang)