Luh Kadek Dera Erlinda, Mahasiswa Teknik Geodesi S-1 ITN Malang, Angkatan 2022. (Foto: Istimewa)
Oleh: Luh Kadek Dera Erlinda, Mahasiswa Teknik Geodesi S-1 ITN Malang, Angkatan 2022.
tnmalangnews.id – Di tengah arus modernisasi yang kian deras, kita kerap lupa bahwa jati diri sebuah daerah tidak hanya dibentuk oleh gedung-gedung baru yang menjulang, tetapi juga oleh bangunan lama yang menyimpan jejak sejarah dan ingatan kolektif masyarakatnya. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu wilayah yang kaya akan warisan arsitektur kayu, mulai dari rumah adat, istana kesultanan, hingga bangunan pemerintahan tradisional yang menjadi simbol kejayaan Kesultanan Sumbawa. Sayangnya, warisan ini terus berada dalam tekanan waktu, cuaca tropis, dan sifat material kayu yang rentan lapuk serta berubah bentuk seiring usia.
Di sinilah teknologi hadir, bukan untuk menggantikan budaya, melainkan untuk menjaganya tetap hidup. Melalui pendekatan Scan-to-BIM, berbagai teknologi mutakhir seperti LiDAR, fotogrametri, GNSS, SLAM, dan pemodelan digital digunakan untuk mendokumentasikan tiga bangunan bersejarah di Sumbawa Besar, yakni Bala Datu Ranga, Istana Dalam Loka, dan Istana Bala Puti. Hasilnya bukan sekadar visual tiga dimensi, melainkan representasi digital dengan ketelitian hingga tingkat milimeter yang dapat dijadikan fondasi penting bagi upaya pelestarian jangka panjang.
Presisi Digital: Melampaui Dokumentasi Manual
Menariknya, pendekatan ini tidak hanya berbicara soal kecepatan pengukuran bangunan. Ia menandai perubahan cara pandang terhadap pelestarian warisan budaya. Jika dulu dokumentasi dilakukan secara manual, terbatas, dan sering kali tidak menyeluruh, kini setiap sudut bangunan termasuk kolong rumah panggung, sambungan kayu, hingga detail struktur atap dapat direkam dengan padat dan presisi tinggi. Sebagai contoh, atap Bala Datu Ranga berhasil dipindai dengan kepadatan lebih dari 136 ribu titik per meter persegi. Ini bukan sekadar kumpulan angka, melainkan memori budaya yang disimpan dalam bentuk digital.
Istana Dalam Loka, bangunan kayu terbesar dan paling kompleks di Sumbawa, menjadi bukti nyata bagaimana teknologi mampu menembus batas yang sebelumnya sulit dicapai. Dengan menggabungkan Terrestrial Laser Scanner (TLS), SLAM, dan foto udara. Seluruh elemen bangunan dari atap bertingkat, deretan kolom panjang, hingga detail ukiran dapat direkam tanpa area kosong. Lebih jauh lagi, analisis geometrik mengungkap adanya kemiringan struktur akibat faktor usia, sebuah informasi yang sangat penting bagi restorasi berbasis data, bukan sekadar perkiraan visual.
Ilustrasi Istana Dalam Loka warisan budaya di Sumbawa, NTB. (Foto: Istimewa)
H-BIM: Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan
Seluruh data hasil pemindaian kemudian dilebur ke dalam model H-BIM (Heritage Building Information Modeling) sebuah digital twin dari bangunan nyata. Pendekatan ini secara nyata menghapus batas antara dunia arsitektur, teknologi geospasial, dan pelestarian budaya. Model H-BIM memungkinkan pemantauan perubahan struktur dari waktu ke waktu, simulasi risiko kebencanaan, hingga penyusunan strategi konservasi berbasis bukti ilmiah.
Keberhasilan ini merujuk pada riset Tim Peneliti Geodesi S-1, Institut Teknologi Nasional Malang (ITN Malang) yang berkolaborasi dengan Leica Geosystem Indonesia, PT Indonav, Gintec, dan PT Amertha Geospasial Indonesia. Studi bertajuk “A Multi-Sensor LiDAR–Photogrammetry Workflow for 3D Documentation of Sumbawa Besar Heritage Sites Toward H-BIM Development” ini menegaskan bahwa penggunaan TLS adalah kebutuhan mendesak bagi bangunan kayu yang rentan deformasi.
Tantangan dan Harapan
Namun, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian yakni teknologi ini tidak seharusnya hanya berhenti di tangan para ahli. Ketika model H-BIM diintegrasikan dengan WebGIS atau platform visual interaktif, masyarakat umum, pelajar, hingga wisatawan dapat ikut mengakses dan memahami nilai sejarah bangunan tersebut. Jika suatu hari bangunan kayu ini tak lagi bertahan akibat usia atau bencana, setidaknya kita tidak hanya mewariskan foto buram atau cerita yang tercerai-berai, melainkan arsip digital yang utuh dan dapat dipelajari lintas generasi.
Sangat disayangkan jika data seakurat dan sedetail ini tidak dimanfaatkan secara maksimal. Pemerintah daerah seharusnya menjadikan data H-BIM sebagai blueprint utama dalam setiap kebijakan restorasi dan pengelolaan cagar budaya. Tanpa integrasi ke dalam perencanaan dan kebijakan nyata, teknologi secanggih apapun berisiko berhenti sebagai proyek dokumentasi semata.
Penutup
Masa depan pelestarian warisan budaya tidak lagi hanya bertumpu pada pengrajin kayu, tapi juga pada insinyur geospasial, dan teknolog digital. Teknologi dan budaya bukan dua dunia yang saling bertentangan. Justru ketika keduanya berjalan bersama, kita dapat membangun jembatan kuat antara masa lalu dan masa depan. Dalam konteks Sumbawa, jembatan itu tersusun dari jutaan titik digital yang merekam setiap serat kayu, setiap kemiringan tiang, dan setiap jejak sejarah yang tak boleh hilang ditelan zaman. (*)
Catatan Redaksi: Opini ini didasarkan pada riset Luh Kadek Dera Erlinda yang berhasil meraih penghargaan Best Paper pada The 1st International Conference on Data Science and Geoinformatics (ICDSG) 2025 di Bali dan telah dipublikasikan pada jurnal IEEE Indonesia Section.

