Hilda Rosa Ainiyah, S.Psi., M.Psi., memberi materi di hadapan Guru BK, MGBK SMK se-Kabupaten Malang di ITN Malang. (Foto: Yanuar/Humas ITN Malang)
itnmalangnews.id – Institut Teknologi Nasional Malang (ITN Malang) menggelar Workshop Kolaborasi Ekosistem, yang mempertemukan Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) SMK se-Kabupaten Malang. Acara yang berlangsung di Aula Kampus 1 pada Rabu (24/09/2025) lalu ini diwarnai suasana penuh keakraban dan mengusung tema penting: “Emotional Development: Guru BK Tangguh, Generasi Z Bertumbuh.”
Workshop ini menjadi ruang belajar dan berdiskusi yang bertujuan memperkuat peran Guru BK, sekaligus membekali Generasi Z agar mampu tumbuh dengan tangguh di era penuh tantangan. Sesi utama diisi oleh Hilda Rosa Ainiyah, S.Psi., M.Psi., Psikolog, seorang pakar psikologi yang aktif sebagai pusat pembinaan konseling di ITN Malang.
Dalam paparannya, Hilda menekankan, perhatian terhadap aspek emosi adalah sesuatu yang mendasar. “Banyak kasus yang kita temui berkaitan tentang emosi. Jika emosi tidak terungkap, maka mereka akan selamanya ada di situ,” ujarnya. Ia menegaskan, emosi bukanlah musuh, tetapi sinyal tubuh untuk mengenali sesuatu
Hilda membuka sesinya dengan tebak-tebakan “Mitos atau Fakta” yang menarik dan lugas meluruskan pemahaman umum tentang emosi. Salah satu poin penting yang disampaikan adalah fenomena Emotional Contagion (Penularan Emosi). “Kalau satu orang panik bisa membikin satu kelas ikut panik. Tapi sebaliknya, ketenangan juga bisa menular,” jelasnya menekankan peran strategis Guru BK dalam memberikan ketenangan kepada siswa
Ia juga meluruskan anggapan bahwa ’emosian’ selalu berarti marah-marah. “Emosian artinya sering sensitif, peka, dan peduli,” katanya. Menurutnya, individu dikatakan dewasa jika tahu cara menyalurkan marah dengan adaptif.
Ia menjelaskan bahwa emosi bersifat kompleks. Pola emosi seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor genetik karena mewarisi sistem saraf dan sensitivitas biologis orang tua, meskipun lingkungan dan pengalaman tetap berperan dalam cara mengekspresikannya.
“Senyum bisa jadi topeng, emosi itu kompleks, ada orang yang tetap tersenyum meskipun hati sedang lelah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mendefinisikan emosi sebagai energi yang bergerak, diciptakan oleh pikiran dan keyakinan, serta mempengaruhi tubuh fisik. Jika emosi menumpuk, ia bisa menjadi ‘bom waktu’. Emosi berfungsi sebagai alarm alami yang memberi tahu apa yang terjadi dalam diri atau sekitar kita.
“Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan emosi itu sendiri. Sedih, takut, bahagia, semua adalah sinyal dalam tubuh. Emosi muncul otomatis sebagai respons terhadap situasi, jadi ia netral dan wajar,” jelasnya. Permasalahan emosi terletak pada intensitas, durasi, ekspresi/perilaku, dan pemikiran yang menyertainya.
Puncak pembahasan Hilda berfokus pada Validasi Emosi, yaitu mengakui, menerima, dan menghargai perasaan orang lain tanpa langsung menghakimi atau menolaknya. Validasi ini sangat penting karena: Membuat individu merasa didengar, dipahami, dan diterima. Mengurangi intensitas emosi negatif (marah, sedih, cemas). Membangun kepercayaan dalam hubungan, terutama antara Guru BK dan siswa. Membantu anak dan remaja belajar mengenali serta menamai emosinya dengan sehat.
“Validasi emosi yang tidak tepat bisa membuat otak kita bingung. Otak kita kerjanya berdasarkan instruksi,” tegasnya. Validasi yang baik adalah mendengarkan tanpa menghakimi.
Cara melakukan validasi emosi yang efektif adalah dengan: Mendengar dengan perhatian (kontak mata, anggukan, tidak menyela). Akui perasaan, contoh: “Saya bisa pahami kamu kecewa.” Berikan empati, contoh: “Itu pasti nggak mudah buat kamu.” Normalisasi emosi, contoh: “Wajar kok merasa takut dalam situasi itu.” Setelah diterima, arahkan ke langkah sehat atau bantu mencari solusi.
Hilda Rosa Ainiyah menutup sesinya dengan prinsip dasar pengelolaan marah. Seperti: Marah itu wajar, yang salah adalah mengekspresikannya. Marah harus dikendalikan, bukan ditekan. Pengelolaan marah adalah keterampilan, bukan bakat bawaan, sehingga butuh latihan.
“Emosi adalah bahasa hati yang paling jujur. Ia hadir bukan untuk dilawan, apalagi dipadamkan, tetapi untuk dipahami dan diarahkan. Kekuatan sejatinya bukan terletak pada kemampuan menekan emosi, melainkan pada kebijaksanaan memilih respons di tengah gejolak,” pungkasnya. (Mita Erminasari/Humas ITN Malang)

