Refi Marinda, mahasiswa Teknik Geodesi S-1 ITN Malang meraih Medali Perunggu (Juara 3) pada Kejuaraan Wushu Sanda Bupati Tuban Cup 2025 Kategori Senior Putri, Kelas 56 Kg. (Foto: Istimewa)
itnmalangnews.id – Prestasi membanggakan kembali diraih oleh Refi Marinda, mahasiswa Teknik Geodesi S-1 Institut Teknologi Nasional Malang (ITN Malang). Yang lebih mengagumkan, Refi berhasil meraih Medali Perunggu (Juara 3) pada Kejuaraan Wushu Sanda Bupati Tuban Cup 2025 Kategori Senior Putri, Kelas 56 Kg, meskipun baru mendalami dan berlatih olahraga ini selama dua minggu.
Bergabung dengan kontingen Kota Malang, Refi bertanding dalam ajang bergengsi Open Wushu Sanda Tuban Fighting Championship se-Jawa Timur yang berlangsung di GOR Rangga Jaya Anoraga Tuban, pada 24-26 Oktober 2025. Kompetisi ini juga berfungsi sebagai ajang seleksi atlet Kabupaten Tuban untuk Kejuaraan Olahraga Provinsi (Porprov) tahun 2026.
Baca juga: Atlet Sambo ITN Malang Raih Perak di Kejurprov Jatim 2025
Perjuangan dan Adaptasi Kilat
Mengikuti kompetisi wushu sanda merupakan pengalaman pertama bagi Refi. Wushu sanda merupakan cabang olahraga pertarungan bebas (menggabungkan pukulan, tendangan, tangkapan, lemparan, dan bantingan) yang berasal dari Tiongkok. Refi yang juga merupakan atlet silat PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) sebelumnya telah berpartisipasi dalam Kejuaraan Provinsi (Kejurprov) Sambo Jawa Timur 2025 pada Mei lalu. Dengan waktu persiapan yang sangat singkat, Refi harus beradaptasi dengan cepat.
“Setelah ikut kompetisi sambo combat kemarin saya tetap latihan rutin untuk menjaga stamina. Jadi, ketika diajak ikut kompetisi wushu sanda, saya langsung iyakan. Selain untuk mencoba olahraga baru hitung-hitung untuk menambah jam terbang dan pengalaman di arena pertandingan. Ternyata cukup banyak yang harus dipelajari mulai dari aturan permainan hingga game plane pada saat bertanding,” ujar Refi saat ditemui di Kampus 1 ITN Malang beberapa waktu lalu.
Refi yang menyukai olahraga fisik dan tarung mengakui adanya kontras antara kepribadiannya dan olahraga yang digeluti. “Buat saya ini justru jadi tantangan sekaligus menyenangkan. Saya dikenal dengan kepribadian lemah lembut dalam keseharian, tapi di arena harus bisa berubah menjadi petarung,” ungkapnya.
Refi Marinda, mahasiswa Teknik Geodesi S-1 ITN Malang (jaket putih) bersama atlet dari kontingen Kota Malang. (Foto: Istimewa)
Menjadi petarung di arena Refi merasa tertantang dengan perbedaan aturan, terutama karena di wushu sanda pukulan dan tendangan ke area kepala diperbolehkan, ini berbeda dengan silat.
“Saya menyesuaikan wushu sanda agak susah, beda dengan cabor sebelumnya (sambo dan silat). Pengalaman berlatih silat dan sambo menjadi basic yang membantu banget, jadi tinggal mengasah boxing-nya aja serta mental, kalau tiba-tiba kena pukul kepala,” tambahnya.
Selama dua minggu, Refi berlatih intensif di One Lotus Kota Malang, dua kali sehari dari Senin hingga Sabtu (pagi untuk fisik, sore untuk teknik). Sementara latihan sambo tetap dilakukan di Han Academy untuk menjaga stamina.
Mental Kuat di Tengah Cedera dan Tekanan
Mewakili Kota Malang 10 atlet wushu sanda membawa pulang 9 medali. Refi mengakui adanya tekanan mental, terutama karena banyak atlet yang berkompetisi adalah atlet Porprov. Refi bertanding dua kali, salah satunya melawan teman sesama atlet sambo dari Sidoarjo. Pertandingan kedua inilah yang menyebabkan “human error” karena Refi masih terbawa pola permainan sambo, dan sayangnya berujung pada cedera engkel kaki kiri.
“Engkel kiri cedera sampai tidak bisa jalan, jadi tidak bisa lanjut lagi bertanding kemarin,” katanya.
Meski demikian, Refi optimis. Ia bertekad untuk serius di wushu sanda dan berencana untuk ikut kompetisi serupa di Kabupaten Malang pada 19-21 November mendatang, sambil menunggu pemulihan cederanya.
“Mumpung masih menjadi mahasiswa, ada fasilitas, ada teman-teman yang support, kenapa tidak mengembangkan hobi hingga bermanfaat. Saya khawatir setelah lewat masanya (masa muda), saya akan menyesal kenapa tidak mencoba,” tutup Refi, berharap bisa latihan konsisten dan meraih hasil maksimal di wushu sanda. (Mita Erminasari/Humas ITN Malang)


