
itnmalangnews.id – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur menyatakan bahwa secara geografis, geologis, dan demografis potensi bencana di provinsi Jatim tergolong tinggi. Pada 2016, terdapat hasil kajian berupa 12 potensi bencana, yang meliputi 11 bencana alam dan satu bencana non alam yakni kegagalan teknologi. Tahun ini, terdapat satu potensi bencana lagi berwujud ancaman likuefaksi.
Penyampaian materi dari Suban Wahyudiono, ST,MM, Ketua Pelaksana BPBD Jawa Timur. (Foto: Yanuar/Humas ITN Malang)
Baca juga: www.itn.ac.id
Suban Wahyudiono, ST,MM, Ketua Pelaksana BPBD Jawa Timur memaparkan lebih lanjut terkait potensi bencana yang ada. “Kita punya 7 gunung api aktif. Hampir tiap hari ada gempa bumi meski berskala kecil sebab berdekatan dengan lempeng tektonik Indo Australia. Garis pantainya panjang sehingga potensi tsunami juga tinggi, dan lain sebagainya,” sebutnya, saat memberi Kuliah Umum Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Senin (18/11).
Dari 38 kota/kabupaten yang terdiri atas 8.501 desa dan kelurahan, 2.742 desa dan kelurahan memiliki ancaman potensi tinggi bencana. Berdasarkan data empat tahun terakhir, rata-rata hampir setiap hari terdapat satu bencana. Ada 8 kabupaten/kota berpotensi tinggi tsunami, 13 yang berpotensi tinggi terkena erupsi gunung api, kekeringan 22 kabupaten, dan banjir 22 bencana.
Pada bulan November 2019, bencana angin puting beliung melanda berbagai kabupaten/kota, termasuk Malang. Musim pancaroba mengakibatkan cuaca ekstrem yang juga memicu kebakaran hutan. Contohnya di lereng Gunung Arjuno yang membutuhkan waktu pemadaman lebih dari seminggu, bahkan perlu bantuan helikopter pemadam api.
Suban melanjutkan, jika salah satu tugas BPBD adalah menyusun pelaksanaan kebijakan, melingkupi koordinasi, komando, dan pengendalian. BPBD bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dinas Kesehatan, dan lokasi-lokasi lapangan. BPBD juga memiliki relawan dari 171 organisasi.
Meski begitu, berkaca dari bencana yang sudah-sudah, terjadi perubahan sudut pandang terkait penanggulangan bencana. Dulu paradigma responsif yang dipakai, dan sekarang berganti menjadi paradigma preventif alias pencegahan. Di Jawa Timur, upaya penanggulangan banyak di pra bencana, contohnya KKN tematik dan desa tangguh bencana. Warga yang tangguh bencana bisa menganalisis dan mengevakuasi diri sendiri, keluarga, maupun korban lain yang mereka jumpai.
Upaya pencegahan bencana masuk dalam arahan presiden Republik Indonesia. Dalam rakor bencana awal 2019, Jokowi mengarahkan enam hal. Perencanaan tata ruang harus memperhatikan daerah rawan, meningkatkan dan berkolaborasi dengan pakar, serta gubernur/bupati menjadi satgas darurat dibantu TNI/Polri. Selain itu perlu mengembangkan peringatan dini terpadu, edukasi bencana, serta simulasi tanggap bencana.
Usai memaparkan materi tersebut di kuliah umum, dibuka sesi tanya jawab. Sasa, mahasiswi dari Kalimantan Timur bertanya tentang fenomena pariwisata dan ekologi di Jawa Timur, spesifiknya Malang. Hal ini sehubungan dengan larangan membangun di daerah rawan bencana yang masih saja terjadi pelanggaran.
Baca juga: Kurangi Resiko Bencana, ITN Malang Inisiasi Edukasi Siswa SD Mitigasi Bencana
Baca juga: Minim Sampah pada Seminar Perubahan Iklim ITN Malang
“Di Malang masih ada bangunan yang dibangun di kawasan konservasi dan rawan bencana. walau dari estetika dan hiburannya sangat menguntungkan. Bagaimana solusi untuk kondisi tersebut?” tanya Sasa.
Menjawab pertanyaan tersebut, Suban mengungkapkan jika sebagian masyarakat masih sulit teredukasi tentang kebencanaan. Sebagai contoh, implementasi desa tangguh bencana masih terkendala faktor sosial dan ekonomi. Masih terdapat pula kasus keterlambatan perizinan sampai bangunan sudah jadi dahulu. Menurut Suban, upaya-upaya ini terus dilakukan tetapi perlu banyak waktu agar berhasil. (ata)