Cerpen: Otang K.Baddy
Tak perlu disangkal, sejujurnya aku kini tengah kampanye. Kampanye lain daripada yang lain. Yang tak sekadar mengumbar janji palsu, di mana kerap bertopeng pandita yang padahal Rahwana tengah menyamun. Kampanye model itu sudah tak laku, mengaku utusan rakyat, padahal rakyat tak mengutus. Berjanji mau basmi korupsi, malah dirinya ikut korupsi.
Maka camkan, janganlah pilih mereka. Sekali lagi jangan pilih mereka, jangan! Seperti telah diajarkan dalam agama kita, barang siapa yang sengaja memberi ruang bagi kejahatan, maka tunggulah suatu kehancuran!
Sebagai bakal calon, saya sendiri benar-benar muak pada mereka. Seperti muaknya kamu sebagai rakyat yang tertindas. Kenapa itu mesti terjadi, jawabnya karena aku ini sama seperti kamu juga. Seorang yang teraniaya, tertindas, dan sering terkambinghitamkan.
Jika pernah dengar nama saya sebagai tersangka penggelapan dana anu, boleh saja sementara percaya. Tapi dengan pencerahan ini kamu akan mengerti bagimana duduk persoalannya hingga nama saya tersangkut. Itu hanya trik, sandiwaranya para elit demi mencari popularitas dan uang. Atas pencorengan nama, aku hanya diberi 5 persen dari total jumlah dana yang hilang itu. Selebihnya lari ke kantong-kantong mereka.
“Hehe..!”
Tuh, kamu pun ikut tertawa. Kerena mengerti tentang yang ini. Uang. Uang. Uang. Siapa yang tak suka uang? Bohonglah namanya jika hidup tak suka uang!
Ada banyak kisah para elit demi mendapatkan uang. Celakanya, mereka para pemburu uang, sangat senang jika ada terjadi bencana atau kerusakan di suatu daerah. Semisal gempa atau tsunami, atau juga lainnya, baginya itu merupakan proyek yang dapat menghasilkan uang.
Mungkin otak mereka belum dewasa. Seperti bocah, maunya jajan terus. Mereka seolah tak cukup dengan yang ada di rumah. Kemasan plastik bergincu di luaran baginya lebih menarik, padahal nyata-nyata mengandung penyakit.
“Kalau yang itu-itu saja, bosan!” katanya, cemberut. Mereka mau yang baru-baru yang padahal tidak baru. Artinya yang mereka jajani tak lebih baunya dengan yang di rumah. Tak cuma lebay mereka itu pun melebihi bocah ingusan. Terkesan seperti balita yang gemar menyusu. Tak heran jajanan yang kerap mereka beli itu yang enak dikenyot. Mungkin terpengaruh iklan jajanan anak-anak di tivi.
Dalam setiap kunjungan, atau acara yang disengajakan, mereka telah kecanduan bak seorang penggila kopi dan rokok. Tak bergairah jika tengah bermain, atau tak lelap jika menjelang tidur tanpa menetek. Ya, kelebaiannya seperti balita nakal, dalam aksi kenyotnya kadang si punya asi itu menjerit dibalik gelinjangnya yang genit. Lalu si balita berkumis itu mengerang seperti sakit gigi. Huh, lah, dasar elite cecurut!
Sebagai yang pernah mengemban amanah, puji syukur kepada yang agung, alhamdulillah hal-hal yang mirip binatang liar itu tak pernah menimpaku.
Maka, demi mencegah virus anggaran yang kerap menggerogoti negeri, acuhkanlah mereka. Jangan sekali-kali diberi hati untuk mengolah ini negeri. Jangan!
**
Para hadirin, rakyat jelata yang dimuliakan Allah. Janganlah merasa muak, apalagi sampai muntah dengan kehadiranku ini. Bukankah kalian semua pun tak mencium bau busuk dari mulutku?
Mungkin telinga kalian terhambat kesiur angin, sehingga beku dalam geming. Dengan kejujuranku sebagai jurkam pribadi, sekali lagi aku bertanya pada kalian, bahkan kalau perlu aku teriak dengan lantang:
“Apakah omonganku tak lebih busuk dari mereka yang berwajah pandita? Atau malah sebaliknya, yang tak cuma basi, bau terasi dan bau tahi akibat jawara korupsi?”
Kalian semua terdiam.
Diam-diam ada rasa mangkel di dada, kenapa kesiur angin telah mengalihkan upaya kampanyeku. Apakah jeda kejujuran ini tak punya daya tarik?
“Baiklah, para hadirin, semua rakyat jelata yang mulia. Jika kalian meragukan atas semua yang saya uraikan, dengan senang hati saya terima sebagai kekhilafan. Maka maafkan saya!” kataku merubah haluan.
Tapi kalian tetap membisu. Malah semuanya berjungkir, membenamkan hidung dan telinga di tanah lapang. Pantat-pantatmu dengan celanda merosot, seperti ada komando untuk bergumam: “Brut…!” Meski terkesan lucu, aku tak sudi untuk tertawa.
Aku tak benci, kendati kalian semua tega menyambutku dengan kentut. Betapa tidak, bukankah kentut itu juga bagian dari kebebasan dan bahkan bagian dari hidup sehat? Coba bayangkan, habis berapa puluh atau ratus juta kocek orang demi bisa kentut. Pun entah berapa pula pengolah negeri kita yang korup demi melahirkan kentut? Mohon maaf jika kata-kataku terkesan jorok, karena kentut itu hak semua orang.
Sekali lagi aku tak benci kalian, karena kalian semua adalah rakyat.
Dan saya yakin, di balik keganjilan ini ada yang bermain. Ulah siapa lagi kalau bukan Markotok, sainganku yang diberi jatah terkecil diantara kroni-kroniku. Wah ini benar-benar duri dalam daging, yang sewaktu-waktu bisa mematikan. Kendati penuh kebobrokan, demi suatu misi aku tetap harus mengusung kebenaran, Bahkan harus lebih terkesan alim, kendati rumus ini pun masih diragukan.
*
Dan perayaan Isra’ Mi’raj pun digelar. Segala keperluan dana serta fasilitas tak sedikit pun dibebankan pada masyarakat. Meski kesannya tetap labil dan tak akan menjamin kelolosan dalam bertarung, 500 juta telah rela kulayangkan pada mereka. Bahkan, kepalang gila, kebrobrokan itu tak jadi penghalangku sebagai penceramah tunggal di puncak acara.
Sebagai tata kehormatan Islam, pertama kubacakan salam serta shalawat kepada junjunan alam Nabi Besar Muhammad SAW, berikut doa pada lazimnya suatu pengajian. Lantas mengarah pada suatu persoalan, namun tetap namanya kebenaran dan gaya kerakyatan diutamakan. Bahkan di sini ada kesan yang sengaja dijanggalkan.
“Para hadirin yang saya hormati dan dimuliakan Allah,” ujarku bernada berat, “Sejujurnya saya sampaikan di sini, agaknya saya mesti mengundurkan diri dari dunia kotor ini.”
Suasana pun mendadak riuh. Ini berarti simpati dari mereka. Maka, trik berikutnya mesti dikeluarkan sebagai umpan tambahan.
Dan ternyata benar juga, yang simpati itu semakin bertambah. Bahkan tak cuma riuh dan tepuk tangan, sebutir peluru pun tega menyambar mulutku yang tengah berkoar.(*)
(Kado buat para politisi, menjelang Pilkada II Pangandaran)