Muhammad Nelza Mulki Iqbal, ST MSc, dosen Arsitektur ITN Malang saat mempresentasikan makalah dalam Architecture and Design International Conference 2021, UPN Veteran Jawa Timur, pada Oktober 2021 yang lalu. (Foto: Istimewa)
itnmalangnews.id – Duo dosen Arsitektur S-1 Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang mengangkat resilience communities pada pandemi covid-19. Makalah yang disajikan dalam seminar internasional tersebut menjadi best paper pada Architecture and Design International Conference 2021, UPN Veteran Jawa Timur, pada Oktober 2021 yang lalu.
Baca juga: www.itn.ac.id
Muhammad Nelza Mulki Iqbal, ST MSc, dan Bayu Teguh Ujianto, ST MT, menganalisa gerakan Paguyuban Kalijawi dan Arkom (Arsitektur Komunitas) yang tetap eksis ditengah pandemi. Arkom merupakan organisasi LSM yang bekerja pada isu keadilan kota, kearifan lokal, pendekatan partisipatif, produksi pengetahuan, dan manajemen bencana. Arkom telah mendampingi beberapa komunitas informal di Indonesia salah satunya adalah Paguyuban Kalijawi yang beranggotakan warga yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Gajah Wong dan Winongo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 2009.
“Biasanya kalau kita berbicara ketahanan kebencanaan, pasti konteksnya tentang ketahanan terkait bencana fisik. Belum banyak yang membahas tentang ketahanan bencana non fisik seperti pandemi Covid-19. Kenyataannya dibawah masyarakat bergerak sendiri-sendiri, dan belum banyak yang mengidentifikasi sebagai bentuk resiliensi komunitas terhadap bencana,” kata Nelza, sapaan akrab Muhammad Nelza Mulki Iqbal, ST MSc, saat ditemui di Gedung Arsitektur, Kampus 1 ITN Malang beberapa waktu lalu.
Nelza dan Bayu menganalisa gerakan Paguyuban Kalijawi dengan teori Room For Maneuver (Safier, 2002). Yang terbagi dalam empat dimensi, yakni dimensi teknis, dimensi organisasi, dimensi sosial, dan dimensi tindakan strategis.
“Dari analisa tersebut kami berdua berpendapat, bahwa komunitas yang sedang kami dampingi (teliti) mengadaptasi ke empat dimensi ini. Sehingga, saya klaim mereka telah berhasil dalam hal menjalankan ketahanan komunitas. Nah, tema ini kami bawa ke seminar internasional,” lanjut Nelza.
Nelza melihat, selama pandemi banyak praktek arsitektur konvensional kolaps untuk sementara waktu, namun ada juga gerakan arsitektur berbasis komunitas yang masih bisa jalan, salah satunya gerakan yang diinisiasi oleh Arkom di Yogyakarta. Secara teknis, Arkom menginisiasi gerakan perencanaan komunitas melalui pelibatan masyarakat dalam aktivitas pemetaan, perencanaan, desain, dan aksi bersama.
Pada saat pandemi Arkom dan Paguyuban Kalijawi mampu melakukan adaptasi gerakannya dengan bantuan teknologi menggunakan platform pemetaan dan diskusi online. Bersama dengan peneliti lain dari Development Planning Unit University College London, Nelza juga berkontribusi merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk komunitas, sehingga menjadi basic assessment (penilaian dasar) untuk advokasi maupun pemberian bantuan.
Gerakan Arkom dan Paguyuban Kalijawi sejatinya bergerak secara konvensional dan mengedepankan aspek gotong royong, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan tradisional ini bisa beradaptasi dengan baik. Hal-hal yang menarik pada saat pandemi ini antara lain inisiasi bisnis komunal berupa usaha jahe merah, aktifasi sosial media melalui instagram dan channel youtube, hingga tercapainya pembentukan koperasi bersama.
“Awalnya mereka masih dianggap organisasi informal. Oleh sebab itu mereka tidak bisa mendapatkan banyak funding (pendanaan). Dengan format koperasi harapannya paguyuban bisa bekerjasama dengan banyak pihak terutama pemerintah, dan menjalankan fungsi koperasi seperti penyediaan bahan pokok dengan harga murah, menabung, dan lainnya” bebernya.
Saat ini Arkom dan Paguyuban Kalijawi juga terkoneksi dengan berbagai komunitas baik internal, nasional, dan internasional. Di masa pandemi, penggunaan teknologi membuat bentuk hubungan sosial yang berbeda. Mereka memanfaatkan platform online untuk mengumpulkan, diskusi, dan penyebarluasan data. Arkom juga memanfaatkan channel Youtube untuk mendokumentasikan dan membagikan gerakan, agenda, dan pengetahuan terkait perencanaan berbasis komunitas kepada publik secara luas. Selain itu proses advokasi dengan pemerintah juga berjalan lebih mudah, karena perwakilan pemerintah bisa diundang secara daring.
Menurut Nelza, kegiatan Arkom dan Kalijawi merupakan fenomena menarik. Karena saat ini masih jarang arsitek ataupun kelompok arsitek yang berbicara masalah sosial. Menurutnya, konstruksi sosial tidak bisa dipisahkan oleh waktu serta konteks. Yang mana konteks saat pandemi covid-19 sangat berbeda dengan masa normal sehingga akan memunculkan fenomena-fenomena yang menarik untuk digali.
“Kami berpendapat Arkom telah berhasil untuk mengadaptasi ruang manuver, baik dari segi teknis, sosial, organisasi, dan strateginya. Yang kami highlight (sorot) adalah adaptasi teknologi yang sangat penting di kala pandemi. Sehingga kita masih bisa bergerak dan berkontribusi, sekalipun ada pembatasan aktivitas dan sebagainya,” pungkasnya.
Kegiatan Arkom dan Paguyuban Kalijawi selayaknya dikembangkan dan ditumbuhkan di berbagai komunitas dan kota. Apalagi dengan adanya program Merdeka Belajar kampus Merdeka (MBKM) saat ini memberikan potensi mahasiswa dan dosen untuk turut andil membantu masyarakat secara lebih nyata. (Mita Erminasari/Humas ITN Malang)